Sekilas Sejarah Batak

Selasa, 05 Januari 2010 , Posted by apapunditulis at 6:37:00 PM

Beruntung kita memiliki orang-orang yang mau menghargai sejarah. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa sejarah hanyalah bagian dari gambaran siapa penguasa saat itu, yang memiliki pengaruh agar ceritanya dapat dipercaya. Ketertarikan ini dimulai ketika aku pulang ke Bandung di medio Desember 2009. Aku melihat karya tulisan Sitor Situmorang yang berjudul Toba Na Sae. Ini adalah salah satu buku yang menceritakan legenda, mitos, hikayat hingga fakta mengenai sejarah batak, terutama klan Batak Toba.

Sejarah batak dimulai dari sesuatu yang tidak logis, menggambarkan keterisolasian masyarakat pada jaman dahulu kala. Orang batak dipercaya merupakan keturunan si Boru Deak Parujar, seorang dewi yang turun dari langit ke bumi, tepatnya di daerah Pusuk Buhit, Samosir. Dan ia selalu diletakkan dalam Tarombo (silsilah) orang batak. Anaknya bernama Si Raja Batak. Ini adalah awal dari sejarah marga-marga, sejarah kaidah, sejarah agama asli batak, dan sejarah sosial-politik suku Batak. Ada dua marga batak utama yang merupakan keturunan langsung si Raja Batak, yaitu Tatea Bulan (marga Lontung dan Borbor) dan Raja Isumbaon (marga Sumba).

Sumber lain yang cukup logis adalah dari buku karya Mangaradja Siregar, yang berjudul Tuanku Rao. Buku  ini diterbitkan pada tahun 1964, tetapi sempat dilarang untuk beredar karena isinya yang sangat provokatif. Buku ini menceritakan bagaimana suku bangsa Batak yang dipimpin oleh Singamangaraja X pernah dibantai, diperkosa, dibakar untuk sebuah penyebaran agama melalui perang Padri sekitar tahun 1820-an, pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Dikatakan dalam buku tersebut, ini adalah mimpi terburuk dalam sejarah Batak. Ratusan ribu mati dengan pedang, puluhan ribu wanita diperkosa, puluhan ribu rumah dibakar membentang dari Tapanuli Selatan (Mandailing, Angkola) hingga ke Tapanuli Utara (Toba) dengan pimpinan Tuanku Lelo, seorang bermarga Nasution. Sedangkan Singamangaraja X mati ditebas dengan pedang oleh seorang bermarga Siregar. Keduanya dipimpin oleh Tuanku Rao, seorang keponakan Singamangaraja sendiri. Ini adalah cerita mengenai penyebaran agama, tetapi juga campur dengan dendam. Tuanku Rao, bernama asli Pongkinangolngolan Sinambela yang coba dibunuh oleh Singamangaraja IX, tetapi ia berhasil hidup kemudian dididik menjadi tentara perang kerajaan Ottoman, Turki. Ia memiliki pengalaman perang di Siria. Kemudian ia mengabdi kepada Tuanku Imam Bonjol, seorang yang juga memiliki kemampuan strategi perang dari Turki.

Tetapi pada tahun 2007 buku ini diperbanyak kembali, mungkin karena menganggap masyarakat Indonesia saat ini sudah lebih dewasa untuk memilih mana yang menurutnya baik atau tidak. Selain hal tersebut, buku ini juga memberikan pandangan yang lebih logis mengenai awal mula suku Batak. Ada beberapa suku disekitaran Asia Tenggara yang memiliki kesamaan budaya atau karakter atau bahasa atau tulisan dengan suku Batak.

Pertanyaannya mengapa bangsa batak sulit memperoleh posisi politis yang penting di Indonesia? Buku Toba Na Sae menjelaskan bahwa dalam sejarah orang batak, bahkan seorang Singamangaraja sekalipun harus tunduk pada keluarga istrinya, yang disebut dengan Hula-hula. Ini disebut dengan adat Dalihan Na Tolu. Adat inilah yang menimbulkan hipotesa bahwa seorang batak yang terikat erat dengan adat akan sangat sulit untuk memimpin. Untuk marganya saja mungkin ya, tetapi tidak mungkin ia dapat memimpin keluarga marga istrinya. Walaupun sang lelaki adalah seorang Jendral, tetapi apabila saudara lelaki istri yang hanya Kopral saja meminta bantuan sang Jendral, maka sang Jendral sangat tabu untuk menolaknya.

Pertanyaan kedua, mengapa saat ini orang batak sangat mengagungkan pendidikan (hamajuon). Bahkan ada lagu: Anakku ialah kekayaan bagiku. Lagu yang bercerita apapun akan orangtua lakukan agar anaknya sekolah lebih keras, lebih tinggi dan mampu bersaing lebih baik dari mereka. Di dalam buku Tuanku Rao, dijelaskan bahwa peran Nommensen, seorang misionaris dari Jerman, bagi kemajuan pendidikan sangatlah besar. Tahun 1865 ia membaptis Raja Pontas Lumbantobing di Silindung. Lalu Raja tersebut mengajak orang-orang batak lainnya agar dibaptis kemudian menjadi penatua/majelis di gereja batak. Setiap anak majelis diberikan kesempatan untuk disekolahkan di sekolah Zending, MULO dan HIS, dan lulusannya akan bekerja di perusahaan Belanda dan memperoleh gaji. Mengapa perusahaan Belanda mendukungnya? karena ajaran Parbaringin, yang mengajarkan agama asli orang Batak membuat suku batak menjadi lebih bersatu. Oleh karena itu dengan adanya misi penginjilan tersebut, perusahaan Belanda terbantu untuk meredam gejolak perlawanan di tanah Batak. Sejak itu, sekolah-sekolah Zending menyebar dengan cepat, karena dengan bekerja tetap dan menerima gaji mereka tidak lagi bergantung pada hasil sawah dan ladang. Inilah awal dari kemajuan suku bangsa Batak, khususnya batak Toba. Gereja ini masih berdiri hingga saat ini dan tahun 2011 akan berusia 150 tahun. Belum terlalu lama untuk ukuran evolusi pendidikan, tetapi memberikan makna perubahan yang berarti, walaupun hingga kini penelusuran sejarah untuk mengungkap siapa sejatinya suku bangsa batak ini belum bisa dipecahkan. Bahkan kisah Singamangaraja sendiri pun seperti kisah kelahiran Mesias di Betlehem. Singamangaraja I lahir tanpa dibuahi, melainkan dari Roh. Hingga kini, ajaran tersebut masih ada, bernama ajaran kepercayaan Parmalim.